Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari diminta mundur dari jabatannya setelah dijatuhi dua sanksi berturut-turut dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Sebelumnya, DKPP menjatuhi sanksi berupa teguran kepada Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari atas pernyataan Sistem Proporsional Tertutup dalam Pemilu 2024.
Selain itu, Hasyim Asy’ari juga dijatuhi sanksi berupa peringatan keras atas aduan yang dilayangkan Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni Moein atau karib disapa Wanita Emas.
Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyatakan bahwa dua sanksi tersebut dapat menjadi tolak ukur dalam menilai kinerja penyelenggara pemilu saat ini.
“Keberadaan Saudara Hasyim Asyari sebagai pucuk pimpinan tertinggi di KPU RI yang menjunjung tinggi nilai-nilai integritas, khususnya independensi, benar-benar sudah tidak dibutuhkan lagi,” ujar Kurnia sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL pada Rabu (5/4).
“Masyarakat telah terang benderang ditunjukkan betapa bermasalahnya figur tersebut,” sambungnya.
Dalam penuturannya, tindakan Hasyim Asy’ari melalui putusan sanksi dari DKPP telah memunculkan persepsi buruk masyarakat terhadap KPU, khususnya kepada pimpinan tertinggi lembaga ini.
“Ia sepertinya tidak mampu memahami urgensi penerapan nilai kode etik, khususnya menjaga independensi jabatannya sebagai Ketua KPU RI,” tuturnya.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) huruf d UU Pemilu, Kurnia menjelaskan, syarat untuk menjadi anggota KPU RI adalah memiliki integritas, berkepribadian kuat, jujur, dan adil.
“Bagi ICW, dengan melandaskan dua pelanggaran kode etik yang secara berturut-turut dijatuhkan kepada Hasyim, telah memenuhi syarat bagi dirinya untuk mengundurkan diri,” desaknya.
“Selain itu, TAP MPR Nomor VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa juga sudah menegaskan bahwa Penyelenggara Negara harus siap mundur apabila telah melanggar kaidah,” pungkas Kurnia.