Permintaan sejumlah partai politik untuk melakukan sosialisasi sebelum masa kampanye dimulai dinilai dapat menjadi celah kecurangan.
Hal tersebut disampaikan Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, dalam acara "Peluncuran Outlook 2023, Ritual Oligarki Menuju 2024" yang digelar LP3ES, Minggu (29/1/2023).
"Di sini lah anomalinya. aktor politik ingin masa kampanye pendek tapi menghendaki dibolehkan melakukan sosisalisasi pemilu di masa tunggu menuju dimulainya masa kampanye," kata Titi seperti dikutip dari Kompas.com pada Senin (30/1) dini hari.
Titi menilai, masa sosialiasasi tersebut dapat menjadi peluang parpol memanipulasi dana kampanye.
"Ini bisa dibaca sebagai upaya untuk menghindari akuntabilitas kampanye dengan mengemasnya dalam bungkus sosialisasi pemilu. Karena bukan masa kampanye, mereka tidak bisa ditagih akuntabilitas dana kampanyenya," ujarnya lagi.
Lebih lanjut, Titi mengatakan bahwa sosialisasi ini juga menjadi peluang para aktor politik menghindari penegakan hukum atas pelanggaran kampanye.
Sebab, Titi menjelaskan bahwa semua bentuk aktivitas politik yang dilakukan di masa sosialisasi berpeluang dilakukannya kampanye terselubung.
"Masa kampanye yang pendek itu pada akhirnya menjadi jalan untuk melakukan jalan pintas jual beli suara, penyebaran disinformasi dan misiformasi. Itu diperkirakan akan marak terjadi di 2023," pungkas Titi.
Sebagai informasi, masa kampanye Pemilu 2024 adalah selama 75 hari. Masa inilah yang dinilai terlalu singkat sehingga muncul permintaan sejumlah pihak untuk memperpanjangnya.