Pemberian jabatan Ketua Majelis Pertimbangan Partai oleh PPP kepada mantan narapidana kasus korupsi Muhammad Romahurmuziy menimbulkan perdebatan, termasuk dari kalangan senior partai berlambang ka’bah tersebut.
Romahurmuzy atau yang karib disapa Romy merupakan mantan Ketua Umum PPP mulai tahun 2016 dan anggota DPR RI mulai tahun 2009. Dua jabatan itu lepas setelah ditangkap KPK atas kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementreian Agama pada 15 Maret 2019.
Romy divonis 2 tahun penjara yang kemudian "dikorting" menjadi 1 tahun oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Jelang Pemilu 2024, Romy dikabarkan kembali aktif dan diberi jabatan sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai dalam kepengurusan baru PPP yang ditetapkan pada 27 Desember 2022 hingga periode 2025.
Wakil Ketua Majelis Pakar PPP, Anwar Sanusi menegaskan dirinya tidak setuju dengan kebijakan partai yang memberi posisi strategis tersebut kepada Romy.
"Kami senior boleh dibilang, saya masuk PPP 1982, jadi kami melihat secara etika politik saya tidak setuju atau melanggar etika politik. Kurang wajar lah, kalau beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Pertimbangan,” kata Anwar Sanusi dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin (2/1).
"Jadi sependapat kalau ada yang mengatakan bahwa kalau secara etika politik ya beliau enggak layak,” imbuhnya.
Dalam penuturannya, Anwar Sanusi menjelaskan bahwa Romy memiliki potensi untuk kembali membesarkan partai yang menggunakan nomor urut 17 dalam Pemilu 2024 tersebut. Namun, ia menilai rekam jejak Romy tidak layak menempati posisi tertinggi majelis pertimbangan dalam partai.
"Tapi kalau orang sudah terlibat sekecil apapun dalam bidang korupsi, secara etika politik belum layak. Apalagi langsung menjadi Ketua MPP. Karena MPP kan majelis pertimbangan partai, yang diminta nasihatnya, diminta sarannya, diminta pertimbangannya,” pungkas Anwar.