Keputusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dinilai ceroboh telah memilih mantan narapidana kasus korupsi Muhammad Romahurmuziy sebagai Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP).
Romahurmuziy atau yang karib disapa Romy merupakan mantan Ketua Umum PPP mulai tahun 2016 dan anggota DPR RI mulai tahun 2009. Dua jabatan itu lepas setelah ditangkap KPK atas kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementreian Agama pada 15 Maret 2019.
Romy divonis 2 tahun penjara yang kemudian "dikorting" menjadi 1 tahun oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Kembalinya Romy aktif dalam Partai berlambang ka’bah tersebut memunculkan beberapa perbedaan pendapat, terlebih dengan pemberian jabatan penting sebagai Ketua MPP yang akan dimintai berbagai saran dalam berbagai keputusan strategis partai.
"PPP tampaknya ceroboh menempatkan Romy menjadi Ketua Majelis Pertimbangan Partai,” kata pengamat politik, Jamiluddin Ritonga dikutip dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin (2/1).
Akademisi di Universitas Esa Unggul tersebut menilai, Romy sangat tidak pantas menempati posisi ketua MPP di mana posisi tersebut sepatutnya diisi oleh sosok yang bersih dari sisi moral maupun hukum.
"Romy sosok yang pernah divonis pidana satu tahun penjara dalam kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama. Ini artinya, Romy secara moral sudah tak layak memberi pertimbangan ke partainya,” tegas Jamiluddin.
Jamiluddin juga melihat kredibilitas Romy di hadapan kader PPP tentunya sudah menurun usai insiden tak etis di tahun 2019 tersebut.
"Kredibilitas Romy kiranya sangat rendah untuk memberi pertimbangan kepada petinggi PPP. Kepercayaan kader juga kepadanya akan rendah,” demikian Jamiluddin.