Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengatakan bahwa laporan dana pemilu jumlahnya tidak sesuai realita terjadi dalam setiap penyelenggaraan pemilu.
Hal tersebut disampaikan anggota Bawaslu Puadi dalam agenda Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Alat Kerja Pengawasan Kampanye di Jakarta.
Di lapangan, pendanaan kampanye tidak sepenuhnya mengandalkan dana organisasi atau partai politik pengusung, tetapi lebih condong menggunakan sumber keuangan individu.
“Dalam praktiknya, apa yang dicatat dan dilaporkan sebagai sumbangan dana kampanye oleh peserta pemilu tidak mencerminkan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan oleh peserta pemilu,” ujar Puadi dikutip dari laman Bawaslu pada Jumat (9/12).
Puadi menjelaskan, pola kampanye berorientasi pencitraan tokoh menjadi penyebab adanya potensi politik transaksional dalam setiap Pemilu selama ini.
“Hal tersebut menjadi potensi munculnya politik transaksional, seperti suap politik atau politik uang yang selalu terjadi dalam penyelenggaraan pemilu,” tambahnya.
Selama ini, kata Puadi bahwa akuntan publik yang ditunjuk oleh KPU untuk mengaudit dana kampanye, melakukan audit hanya sebatas pada dana sumbangan yang dilaporkan oleh peserta pemilu, tetapi tidak menjangkau pada kegiatan atau pengeluaran riil yang dilakukan.
Menaggapi hal tersebut, Puadi mengatakan bahwa pihaknya berencana menyusun pengawasan yang lebih terpreinci terkait pendanaan kampanye.
“Dana siluman tidak terdeteksi. Jumlahnya tidak seimbang dengan data yang dilaporkan oleh peserta pemilu. Ke depan Bawaslu akan merancang kerangka pengawasan terhadap persoalan tersebut,” tegasnya.
Menurut Puadi, pola kampanye lawas yang mencitrakan penokohan perlu dirombak. Peserta Pemilu dalam Pemilihan Serentak 2024 perlu pola kampanye yang berorientasi terhadap ide dan program kerja.
“Saya harap pada pemilu dan pemilihan ke depan ada perubahan pola kampanye yang dilakukan oleh peserta pemilu,” terangnya.