Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI ikut menanggapi diubahnya norma pencalonan pejabat negara menjadi presiden atau wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Anggota Bawaslu RI, Lolly Suhenty menuturkan, putusan MK terhadap norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu mengharuskan adanya mekanisme pengawasan yang lebih ketat.
Pasalnya, norma tersebut awalnya mengharuskan menteri atau pejabat setingkat menteri untuk mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin nyapres di pemilu.
Akan tetapi, setelah MK menerima sebagian permohonanan uji materiil Pasal 170 ayat (1) perkara nomor 68/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda), Ahmad Ridha Sabana, bunyi aturannya menjadi berubah.
"Dalam setiap tahapan yang melibatkan para peserta tersebut (menteri yang nyapres), Bawaslu akan melakukan pengawasan melekat," ujar Lolly dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (2/11).
Salah satu bentuk kerawanan yang terjadi apabila menteri yang maju sebagai capres atau cawapres, disebutkan Lolly, adalah terkait dengan penggunaan kewenangan.
"(Bawaslu akan melakukan pengawasan melekat) terhadap potensi penyalahgunaan kewenangan maupun dalam bentuk penyalahgunaan fasilitas negara," sambungnya mengurai.
Lebih lanjut, Lolly mengungkap penanganan yang akan dilkukan Bawaslu RI apabila dalam pengawasan terhadap menteri yang nyapres ditemukan adanya penyalahgunaan wewenang.
"Jika terdapat laporan, maupun hasil pengawasan yang memenuhi alat bukti, Bawaslu akan menindaklanjuti melalui mekanisme penanganan pelanggaran administratif pemilu," demikian Lolly.
Majelis Hakim Konstitusi membacakan putusan gugatan Ahmad Ridha Sabana dalam Sidang Putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (31/10).
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim Konstitusi menilai alasan hukum para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 170 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sudah tepat.
Sebab Majelis Hakim Konsitusi menilai, menteri dan pejabat setingkat menteri merupakan rumpun eksekutif yang tidak bisa dianggap berbeda dari presiden dan wakil presiden.
"Demikian penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh presiden dan wakil presiden," ucap Anggota Majelis hakim Konstitusi Arief Hidayat.
"Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri adalah yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres atau cawapres, harus mendapat persetujuan atau izin cuti dari presiden," sambungnya.
Dengan demikian, dalam amar putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman, frasa dalam Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g diubah.
Adapun bunyi Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yang diubah MK berbunyi; "Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik peserta pemilu atau Gabungan partai politik sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota".
Sedangkan bunyi penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu setelah diubah MK menghapus frasa "Menteri dan Pejabat Setingkat Menteri" dari penjelasan "Yang dimaksud 'pejabat negara' dalam ketentuan ini kecuali (mereka yang harus mundur jika dicalonkan presiden atau wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol) adalah:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc
c. Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Mahkamah Konstitusi
d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Yudisial
f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
g. Kepala Perwakilan Republik Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkauasa penuh; dan
h. Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh undang-undang.