Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan berhak mengadili sengketa pilkada 2024. Hal itu menganulir Pasal 157 ayat dan dan 2 UU Pemilu yang memerintahkan sengketa pilkada diadili di pengadilan khusus. Putusan itu sesuai permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
"Menyatakan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5898) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Anwar Usman yang membacakan putusan dengan disiarkan di Chanel YouTube MK, dikutip Jumat (30/9/2022).
Alasannya, MK badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, MK berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945.
"Menurut Mahkamah, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi," ucap MK.
Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan MA serta tidak pula berada di bawah MK. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari Mahkamah Agung atau menjadi bagian di Mahkamah Konstitusi.
"Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi bukan pilihan yang tepat dan konstitusional. Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah Mahkamah Konstitusi, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan Mahkamah Konstitusi dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya," paparnya.
Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah MK. Melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
"Hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945," pungkasnya.