Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki kewenangan untuk menolak pendaftaran pasangan capres-cawapres yang diajukan partai politik jika mengakibatkan partai politik lainnya tidak bisa mendaftarkan pasangan calon.
“Kewenangan KPU tersebut diatur dalam Undang-undang No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu di Pasal 229 Ayat (2),” dikutip Selasa (20/9/2022).
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa pasangan capres-cawapres bisa didaftarkan partai politik atau koalisi partai politik yang memiliki 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional hasil pemilu sebelumnya.
Satu partai politik bisa mendaftarkan pasangan capres-cawapres jika memenuhi syarat tersebut tanpa berkoalisi dengan partai lainnya.
Sementara partai politik yang memiliki kursi DPR di bawah 20 persen, maka harus berkoalisi dengan partai politik lainnya agar memenuhi syarat.
Kemudian, dalam UU Pemilu, KPU memiliki wewenang untuk mencegah pasangan calon tunggal di pilpres. Minimal harus ada dua pasang capres-cawapres yang berkontestasi.
KPU boleh menolak pendaftaran 1 pasangan capres-cawapres yang diajukan oleh seluruh partai politik peserta pemilu. Alasannya, jika seluruh partai politik bergabung dalam satu koalisi bersama, maka hanya akan ada 1 pasangan capres-cawapres.
Lalu, KPU juga boleh menolak pendaftaran 1 pasangan capres-cawapres yang diajukan oleh gabungan partai politik yang mengakibatkan partai politik lain tidak dapat mendaftarkan pasangan calon.
Dengan kata lain, harus ada partai politik yang membuat koalisi baru dan memenuhi syarat untuk bisa mendaftarkan pasangan capres-cawapres.
Kewenangan yang diberikan KPU tersebut bertujuan untuk mencegah pasangan calon tunggal di pilpres. Harus ada minimal dua pasangan capres-cawapres.
Ketentuan ini berbeda dengan kontestasi level pemilihan kepala daerah (pilkada).
KPU tidak bisa mencegah pasangan calon tunggal di pilkada. Akan tetapi, selain didaftarkan partai politik, pasangan calon kepala daerah juga berasal dari kalangan independen atau nonparpol.