Istilah pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) lekat dengan momen pemilihan umum (pemilu). Setiap kata dari TSM itu memiliki maknanya masing-masing.
Pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, pihak pemenang sempat dituduhkan melakukan kecurangan TSM. Proses pemungutan serta penghitungan suara yang dilakukan KPU lantas digugat.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur pelanggaran TSM pada pasal 286. Namun, pasal itu membahas pelanggaran TSM dalam konteks pemilihan anggota legislatif.
Pelanggaran terstruktur adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Kemudian pelanggaran sistematis dimaknai sebagai pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Adapun pelanggaran masif adalah pelanggaran yang dampaknya sangat luas terhadap hasil pemilihan.
Aturan lebih rinci mengenai pelanggaran TSM dituangkan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018. Laporan atas dugaan pelanggaran TSM bisa disidang Bawaslu jika disertakan bukti terjadi di sejumlah wilayah.
"Untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, pelanggaran terjadi paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari jumlah daerah provinsi di Indonesia," bunyi pasal 24 ayat (8) huruf c Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2018.
Pada sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019, Mahkamah Konstitusi (MK) mementahkan gugatan Prabowo-Sandiaga mengenai pelanggaran TSM.
Salah satu argumen MK adalah pelanggaran TSM ranah Bawaslu. Mahkamah menyitir pasal 286 UU Pemilu yang menyebut pelanggaran TSM diproses oleh Bawaslu.
MK mengatakan mereka hanya memproses perselisihan hasil pemilu. Mereka tak akan mencampuri ranah lembaga lain.
"Bahwa Peraturan Bawaslu Nomor 8 Tahun 2018 telah mengatur TSM. Perihal sanksi, apabila terbukti diatur dalam pasal 37. Telah terang bahwa pelanggaran administrasi yang bersifat TSM ada di kewenangan Bawaslu," ucap Hakim MK Manahan Sitompul di Gedung MK, Jakarta, 27 Juni 2019.