Wacana calon presiden (capres) alternatif untuk Pemilu 2024 yang kini mulai ramai diperbincangkan memberikan sinyal kejenuhan publik terhadap nama-nama figur yang sudah lebih dulu populer.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma, Aditya Perdana, masyarakat membutuhkan figur baru yang teruji dan bisa menyelesaikan persoalan bangsa. Aditya mengatakan, masyarakat sejatinya tak sepenuhnya yakin dengan calon presiden yang populer saat ini, di mana mereka selalu menghiasi seluruh media di tanah air.
Ia mengungkapkan dari survei yang dilakukan Algoritma meskipun beberapa bakal capres tersebut memiliki kesukaan dan elektabilitas tinggi, masyarakat belum yakin para bakal capres Indonesia itu mampu mengatasi persoalan bangsa dan negara yang saat ini tengah dihadapi.
“Di situlah kami punya keyakinan bahwa masih ada peluang bagi para capres lain yang sebenernya mau mengatasi problem yang kita hadapi, seperti polarisasi masyarakat, pemberantasan korupsi, hukum, pemulihan ekonomi, kalau itu semua bisa dipenuhi, curilah ruang itu,” kata Aditya dalam diskusi Capres Alternatif: Menuju Subtansialitas Pilpres 2024, di Jakarta sebagaimana dikutip Rabu (7/9/2022), yang diselenggarakan oleh TEPI Indonesia.
Menurutnya, masih ada ruang bagi para capres alternatif untuk muncul dan mengambil peran dan menjawab kegelisahan responden di atas serta peluang mengkapitalisasi kemampuan dan kapasitasnya sebagai capres.
"Maka saya berpikir seharusnya para capres alternatif ini perlu membuat skenario yang komprehensif dan sistematis untuk menantang calon yang ada sehingga dampaknya dapat dimonitor dengan baik. Tentu tantangannya tidak mudah, tapi perlu ada gerakan perlawanan," kata dia.
Koordinator Komite Pemilih (Tepi Indonesia), Jeirry Sumampow berkata masyarakat sudah mengenal calon-calon presiden yang saat ini tinggi elektabilitasnya sejak 5 tahun lalu. Maka, tokoh-tokoh tersebut sama seperti yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu dan tidak ada perbedaan signifikan.
Itu tentu memperlihatkan ada kebosanan publik. Problemnya begini, media terlalu mempopulerkan nama tokoh, jadi publik ke arah sana, dan seolah-olah tak punya pilihan lain. "Membuat figur-figur ini populer, dan populernya ini berpengaruh pada elektabilitasnya,” ujarnya.
Ia berpendapat, figur atau nama-nama capres yang lalu-lalang sekarang paling banyak adalah kepala daerah, militer, atau petugas partai. “Orang-orang yang tampil sekarang memang orang-orang yang memegang jabatan publik, ada yang juga sengaja di branding untuk maju sebagai calon presiden,” ucap Jeirry.
Menariknya survei Algoritma beberapa waktu lalu menunjukkan publik tak yakin para calon teratas itu mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan, seperti pembelahan dalam masyarakat, persoalan ekonomi, korupsi, dan lain-lain. "Itu menunjukkan bahwa masyarakat mengharapkan adanya calon alternatif atau figur baru, bukan figur yang selama ini sudah muncul," ucap dia berharap.
Beberapa figur alternatif yang bisa ditawarkan karena memiliki kemampuan dan kapasitas, seperti mantan ketua MK Prof. Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir, Mendagri Tito Karnavian, dan Cendekiawan Ilham Habibie. Nama terakhir yang memiliki background kepakaran bidang teknologi adalah putra pertama dari Presiden ketiga Indonesia BJ Habibie.
Jeirry berpendapat, nama-nama ini sebetulnya cukup ok, tapi kurang mendapat perhatian media, sehingga tak muncul ke permukaan. "Kami berharap publik juga sebaiknya mengusulkan atau memunculkan nama-nama lain, dianggap punya kemampuan memimpin bangsa ini dan punya kapasitas untuk menyelesaikan persoalan yang ada," imbuh dia.
Peneliti Formappi, Lucius Karus menyebut sudah sewajarnya publik merasa jenuh lantaran dominasi capres masih dipegang oleh nama-nama besar, yang selama ini aktif berkeliling menjajakan diri untuk menaikan elektabilitasnya.
“Belum lepas dari sini, banyak muncul figur lain, tapi sejauh ini tidak ada kenaikan signifikan dalam tingkat elektabilitas mereka menurut potret dalam survey,” kata Lucius.
Lucius berkata, sekian lama nama-nama itu muncul dalam hasil survei, selama itu juga publik disuguhkan dengan informasi terkait nama-nama yang sama. "Lalu, muncul semacam kejenuhan di ruang publik dengan nama-nama yang selalu sama dengan yang muncul di lembaga survei,” ucap dia.