Sebanyak 16 partai politik (parpol) yang tidak bisa melanjutkan ke tahap verifikasi administrasi mengajukan keberatan. Hal itulah yang akan ditindaklanjuti Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Anggota Bawaslu RI yang mengepalai Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data dan Informasi, Puadi menjelaskan, Bawaslu memiliki dua mekanisme untuk memproses keberatan yang akan diajukan.
Dua mekanisme tersebut yakni, pertama penanganan "Sengketa Proses" dan kedua penanganan "Dugaan Pelanggaran Administrasi".
"Pertanyaannya, kira-kira mau ke mana? Silakan saja partai yang bisa memaknai. Jadi kita tidak bisa, tidak boleh Bawalsu menggiring mereka untuk mau ke sengketa atau administrasi," ujar Puadi seperti dilansir Kantor Berita RMOL, Jumat (19/8/2022).
Puadi menjelaskan, 16 parpol yang tidak bisa ikut tahap verifikasi lantaran dokumen persyaratan pendaftaran sebagai calon peserta Pemilu 2024 dinyatakan tidak lengkap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Partai-partai yang dinyatakan tidak lengkap tersebut sudah melakukan audiensi dengan pimpinan Bawaslu pada Kamis kemarin (18/8) untuk berkonsultasi menganai proses hukum yang akan dilakukan.
"Ada 6 parpol ya yang datang ke Bawaslu (kemarin) untuk bertanya, selain beraudiensi juga berkonsultasi. Terkait apa? Terkait melakukan upaya hukum," ungkapnya.
Dalam konsultasi tersebut, dipaparkan Puadi, tentang dua langkah hukum yang bisa diambil parpol yang terhenti jalannya untuk menjadi peserta Pemilu Serentak 2024.
Bahkan, mantan Anggota Bawaslu Provinsi DKI Jakarta ini menjabarkan sejumlah hal yang harus dipahami parpol sebelum mengajukan gugatan ke Bawaslu RI terhadap hasil tahapan pendaftaran parpol yang berlangsung sejak 1 hingga 14 Agustus 2022 lalu.
Pertama, adalah mengenai keterpenuhan syarat dalam mengajukan langkah hukum "Sengekta Proses", salah satunya adalah "objek sengketa".
"Kalau ternyata ada beberapa partai yang dikembalikan (dokumen pendaftarannya), dan dia pegang semacam surat atau semacam berita acara atau surat keputusan maka itu bisa jadi objek sengketa," paparnya.
Sementara, apabila ada parpol yang dokumen pendaftarannya dikembalikan KPU RI namun tidak memperoleh berita acara, maka bisa melalui jalur hukum dugaan pelanggaran administrasi.
"Nah kalau ternyata, misalkan ada prosedur seperti Sipol dimaknai hanya sebagai alat bantu, dan kalaupun dia (parpol) tidak memakai Sipol, maka KPU itu tidak boleh menolak terhadap partai masuk tidak melalui pintu Sipol itu (untuk mendaftar)," kata Puadi.
"Kalau dia (KPU RI) menolak, akan menimbulkan, termasuk juga ketika KPU tidak melakukan verifikasi faktual, maka akan terjadi (potensi) pelanggaran administrasi," sambugnya.
Dari penjelasan itu, Puadi memastikan Bawaslu sama sekali tidak memberikan intervensi apapun kepada parpol untuk mengambil langkah hukum dalam memprotes kerja-kerja KPU Ri di tahapan awal Pemilu Serentak 2024.
"Kita hanya memberi sebuah gambaran bahwa demikian persoalannya. Sehingga terserah kalau memaknai itu sebagai sengekta, dia punya waktu 3 hari setelah SK (surat keputusan) keluar. Kalau itu memang objek sengketa," tegasnya.
"Tapi kalau pelanggaran administrasi terkait prosedur, maka si pelapor itu punya waktu 7 hari sejak dia ketahui. Sejak dia tahu peristiwa terhadap prosedur, kesalahan mekanisme yang dilakukan KPU," demikian Puadi.