Tingkat kepuasaan terhadap kinerja Presiden Joko Widodo dinilai tidak akan menjadi faktor penentu dalam Pemilu Presiden ( Pilpres) 2024. Sebab, Jokowi tidak bisa maju lagi pada pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Selain itu, koalisi-koalisi yang sudah terbentuk juga dinilai masih rentan karena belum adanya calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) resmi.
"Saya kira faktor kepuasan dan ketidakpuasan mungkin ada pengaruhnya pada perolehan partai tertentu. Tapi menurut saya faktor determinan suara partai bukan soal puas atau tidak pada pemerintahan," kata Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic International Studies (CSIS) Arya Fernandes kepada wartawan dikutip, Rabu (17/8/2022).
Arya menjelaskan, ada beberapa faktor penentu dalam perolehan suara partai pada Pemilu 2024. Pertama, kandidat atau calon legislatif (caleg) yang diusung dalam Pemilu Legislatif (Pileg 2024). Kekuatan sosok kandidat masih menjadi acuan utama publik untuk menjatuhkan pilihan ke partai tertentu.
"Faktor utama naik turun suara partai itu adalah, pertama, siapa kandidat yang akan mereka calonkan di DPR, DPRD. Tetap faktor kandidat yang diusung," terangnya. Kedua, Arya melanjutkan, faktor narasi program yang ditawarkan oleh partai politik.
Terakhir, sosok yang didukung dalam Pilpres 2024. Ketiga faktor itu masih berada pada kategori penentu dalam memotret perolehan suara partai politik. "Faktor determinannya tiga itu. Faktor kepuasan mungkin iya, tapi ketika incumbent tidak ada, maka faktor kepuasan publik, menurut saya, tidak terlalu besar pengaruhnya," ujarnya.
Menurut Arya, pembentukan koalisi di antara partai yang hendak berlaga di Pemilu 2024 memang sudah mengerucut menjadi beberapa poros. Namun hal itu masih menyisakan kerentanan dan peta koalisi masih bisa berubah hingga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) resmi terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kerentanan itu untuk terbelah, bubar, atau gagal. Mengapa ada kerentanan? Karena pendaftaran capres masih September tahun depan, sehingga kemungkinan-kemungkinan untuk partai mengalihkan dukungan masih terbuka," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan, kerentanan koalisi itu juga dipengaruhi oleh tren peluang kandidat capres. Selain itu, juga dipengaruhi negosiasi para king maker politik. "Jadi untuk koalisi memang sudah mengerucut. Pilihan-pilihannya terbatas, tapi di internal dan eksternal ada kerentanan. Perubahan itu bisa terjadi kalau deadlock saat menentukan siapa capres, siapa cawapres," katanya.