Sejauh ini belum ada tanda-tanda pasti siapa sosok yang akan diusung PDIP sebagai Capres 2024. Pengamat mendorong asas transparansi agar PDIP terhindar dari anggapan sewenang-wenang dalam memutuskan arah politik ke depan.
Demikian disampaikan Pengamat Politik Bakhrul Khair Amal, Selasa (9/8/2022) di Medan. Menurut Dosen Universitas Negeri Medan (Unimed) itu, kewenangan Megawati Soekarnoputri selaku Ketua Umum PDI Perjuangan dalam menentukan sosok yang akan diusung sebagai calon presiden (Capres) pada 2024 mendatang harus diikuti dengan asas transparansi.
Yakni dengan menunjukkan bahwa keputusan yang diambil sudah melalui berbagai tahapan yang demokratis. Mulai dari adanya aspirasi hingga pembahasan lewat berbagai tata tertib, analisis, hingga menghasilkan kesimpulan.
“Jika ujug-ujug menentukan kesimpulan tanpa ada tahapan yang kita sebutlah istilahnya Standar Operasional Prosedur (SOP), maka akan muncul namanya unsur kesewenang-wenangan di situ,” kata Bakhrul seperti dilansir RMOLSumut.
Mantan anggota KPU Kota Medan ini menjelaskan, sistem politik saat ini memang sangat membuka ruang terjadinya dinasti politik. Unsur kepentingan yang didasarkan pada kekerabatan, golongan, hingga faktor suka dan tidak suka akan menjadi pertimbangan utama dalam mengambil kesimpulan.
“Padahal yang baik itu adalah adanya rekomendasi yang didudukkan untuk dibahas. Artinya semua peserta diberi kesempatan untuk meyakinkan pimpinan. Ada tatib, ada argumentasi, ada forum grup diskusi, ada dinamika, pembahasan mengenai kelemahan dan keunggulan seorang calon, hingga perdebatan-perdebatan demokratis yang kemudian menghasilkan kesimpulan," jelas Bakhrul.
"Namun, sekarang itu sepertinya tidak dilakukan. Ujug-ujug sudah langsung pembacaan kesimpulan,” imbuhnya.
Saat ini, kata Bakhrul, politik di Indonesia menjadi tidak sehat karena adanya SOP yang kerap ditabrak. Sistem politik yang menganut gaya sentralistik menjadi penyebab utama terjadinya hal tersebut. Motif kekuasaan dan faktor ekonomi, menurutnya, telah membuat sistem ini tetap berlangsung. Meskipun tidak jarang hal tersebut bertentangan dengan AD/ART partai politik.
“Ini semacam kamuflase berpikir. Dalam AD/ART itu desentralisasi namun de facto sentralisasi. Dalam tulisan objektif, tapi dalam kelakuan masih subjektif. Hal ini tidak akan sehat bagi perpolitikan yang katanya menganut sistem demokrasi,” pungkasnya.