Ulasan tentang koalisi partai politik menuju Pilpres 2024 menarik untuk diperbincangkan. Terutama jika hitung-hitungan akan ada berapa pasangan calon yang akan bertarung di pesta demokrasi lima tahunan.
Belakangan ini, komunikasi Partai Gerindra dengan PKB dalam upaya membentuk koalisi semakin dalam dan menguat. Hal ini memungkinkan terbentuknya koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) tinggal menunggu hitungan hari.
Kondisi ini jauh berbeda dengan beberapa rekan koalisi partai lain seperti KIB yang kini semakin cair komunikasi politiknya.
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro mengungkapkan, dalam beberapa kesempatan, elite Gerindra-PKB telah saling mengafirmasi bahwa KIR akan segera dideklarasikan. Keputusan resminya diprediksi sebelum perayaan kemerdekaan 17 Agustus 2022 nanti atau setelah Rapimnas Gerindra digelar tanggal 13 Agustus 2022 mendatang.
"Pengumuman resmi koalisi KIR ini semakin menguat, jelang agenda Rapimnas Gerindra yang agenda utamanya menanyakan kesediaan Prabowo maju kembali sebagai capres. Tentu realitas politik ini semakin membuat dinamika koalisi yang cair, semakin mengerucut, setelah sebelumnya Golkar, PAN, dan PPP resmi menggagas Koalisi Indonesia Bersatu (KIB)," kata Agung, dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (2/8/).
Menurut dia, konstelasi koalisi politik sementara ini menyisakan pertanyaan krusial selanjutnya. Bagaimana kabar poros Gondangdia yang digagas Nasdem, Demokrat, dan PKS. Atau apakah PDIP jadi bergabung ke KIB.
Artinya, besar kemungkinan poros atau paket capres-cawapres yang bakal berlaga di arena pilpres minimal 3 koalisi atau 3 pasang Capres-Cawapres.
Namun, dia melihat itu terjadi jika PDIP tak melangkah sendiri dengan paket capres-cawapresnya. Apabila skenario PDIP maju sendiri ini terjadi, yang terbentuk malah 4 koalisi atau 4 pasang capres-cawapres. Skema tadi berlaku jika masing-masing koalisi, mulai Poros Gondangdia, PDIP, KIB dan KIR sampai akhir masa pendaftaran di KPU tak melakukan manuver zig-zag, yang bisa mengubah peta jalan koalisi yang sebelumnya sudah eksis.
"Di luar soal skema koalisi yang mungkin terbentuk, di titik ini prospek KIR yang digagas Gerindra-PKB lebih menarik untuk dicermati dibanding KIB atau yang lain," kata Agung.
Karena, KIR akan lebih berani mengajukan nama Prabowo sebagai capres. Bahkan sosok Cak Imin mulai didaulat sebagai kandidat cawapres menimbang kapasitasnya sebagai ketua umum (ketum) PKB. Tinggal bagaimana memformulasikan pasangan ini, agar mulai membahas visi, misi dan program.
Karena menurut Agung, kandidat capres cawapres sudah harus memulai memikirkan visi, misi, program dan inovasi kebijakan (baca: platform pilpres) secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tujuannya, agar publik bisa terlibat dan tercerdaskan dalam memahami persoalan bangsa.
Pada bagian lain, dia melihat, mengemukanya pasangan Prabowo-Cak Imin ini bisa menghadirkan tren presidensialisasi partai di tengah koalisi. Dimana ketua umum atau orang kuat di partai (veto player) sebagai pemilik tiket, maju menjadi kandidat capres-cawapres atau minimal menentukan kader pilihannya maju ke arena pilpres.
"Jika sudah demikian bagaimana nasib Anies, Ganjar dan capres pilihan publik lainnya yang bukan ketua umum atau orang kuat di partai?," ujarnya.
Agung mengungkapkan, tarikan antara aspirasi publik dan kepentingan elit perihal Capres ini, menghadirkan dinamika politik di level partai maupun koalisi. Ini pula yang menjelaskan mengapa sampai sekarang baik PDIP, KIB, Poros Gondangdia mengulur waktu untuk menentukan Capres-Cawapresnya.
Padahal nalar ini, hanya tepat bagi PDIP yang memang sedari awal sudah memenuhi ambang batas pilpres (presidential threshold).
"Sehingga KIB maupun Poros Gondangdia perlu bergegas sebagaimana KIR agar tak kehilangan momentum atau sekedar jadi pelengkap koalisi, karena masih banyak pekerjaan rumah setelah nama capres-cawapres diumumkan," paparnya.
Terkait pencapresan, di luar KIR, di internal PDIP sementara ini menguat nama Puan, di saat Ganjar juga moncer di publik. Sementara di KIB maupun Poros Gondangdia, para ketum berebut tiket pilpres walau mencari titik tengah (win-win solution), melalui figur-figur alternatif atau skema mutuialisme lainnya.
"Sehingga diskursus soal ini tak sampai berlarut-larut menganggu soliditas koalisi," ucapnya.