Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menanggapi terkait larangan kampanye politik di lembaga pendidikan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 210 ayat (1) huruf h UU 7/2017 tentang Pemilu.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menerangkan, di dalam aturan tersebut telah nyata melarang adanya kampanye politik di tempat pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas pemerintah.
"Dalam hukum positif kita banyak sekali parameter larangan untuk itu," ujar Bagja seperti dilansir dari Kantor Berita Politik RMOL, Senin (25/7).
Di samping itu, Bagja juga mengklarifikasi perbedaan pandangan Bawaslu dengan KPU yang cenderung memiliki tafsir yang berbeda atas norma Pasal 210 ayat (1).
KPU menafsirkan norma tersebut sebagai suatu larangan untuk tiga tempat yang disebut dalam pasal itu dijadikan tempat kampanye oleh peserta Pemilu. Hanya saja, figur yang menjadi peserta Pemilu boleh hadir di tempat-tempat itu jika diundang.
"Sementara, Bawaslu menganggap norma di dalam pasal itu sebagai suatu larangan kampanye bagi peserta Pemilu di tempat pendidikan, tempat ibadah, dan fasilitas pemerintah," ujarnya saat ditemui usai mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) bersama KPU RI di kantor KPU Pusat, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
"Apakah boleh politisi masuk kampus? Ya kalau dia diundang monggo-monggo saja. Kecuali pasang spanduk, jadi masalah. Tapi kalau bicara akademik silahkan saja," sambungnya.
Hanya saja, dalam konteks ini Bawaslu tidak menutup kemungkinan ada perubahan ke depannya soal debat peserta Pemilu di kampus. Pasalnya, hal tersebut baik untuk iklim demokrasi di kampus.
"Nanti kita akan lihat, apakah kita bisa meniru negara-negara maju. Apa itu? Jadi ada adu debat itu diadakan di kampus. Tapi karena ada faktor larangan itu (di Pasal 210 ayat 1 UU Pemilu) maka dilarang," tegas Bagja.
"Jadi ke depan apakah boleh? Jika ada revisi UU. Sehingga mahasiswa tidak menganggap kampanye sebagai sesuatu yang negatif di dalam kampus," tandasnya.