Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menyebut, penggunaan dana desa untuk kepentingan partai politik (parpol) tertentu atau peserta pemilu/pilkada tertentu masuk dalam kategori politik uang.
Dia menegaskan politik uang tidak hanya perbuatan memberikan kepada pemilih, tetapi juga penggunaan fasilitas desa, termasuk dana desa.
"Misalnya penggunaan anggaran dana desa yang mencapai satu milyar itu, digunakan untuk kepentingan partai politik tertentu atau peserta pemilu atau pilkada tertentu itu kami menyebutnya politik uang," kata Bagja seperti dikutip dari laman bawaslu.go.id, Kamis (30/6).
Titik rawan Pemilu dan Pilkada 2024 yang lain yakni terkait pelanggaran netralitas aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri.
Namun diantara jenis pelanggaran tersebut, kata Bagja, pelanggaran yang dilakukan kepala desa dan camat justru lebih sering terjadi.
"Yang paling sering (pelanggaran) kepala desa, lurah, dan camat karena mereka mempunyai birokrasi ke bawah. Mereka bisa mengumpulkan RT dan RW, ini persoalan juga. Itu terjadi di Pemilu 2019 dan Pilkada 2020," ujarnya.
Ia memprediksi politisasi SARA bakal kembali mewarnai hajatan pesta demokrasi lima tahunan itu.
Titik rawan lain yakni data pemutakhiran pemilih, serta kerumitan pemungutan suara, penghitungan suara, dan percepatan memperoleh hasil.
"Saya berharap dapat KPU bisa diperbaiki karena hasil pencermatan Bawaslu (pada Pemilu 2019) menghasilkan DPTHP (Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan) satu dan dua. Ada pemutakhiran data yang tidak dilakukan dengan benar," kata dia.